Minggu, 14 Agustus 2011

Pangeran Kuning dan Perang Tebidah

Pangeran Kuning adalah seorang tokoh pejuang yang gigih menentang penjajah Belanda di wilayah kerajaan Sintang Kalbar. Ia lahir pada 1759 Masehi. Ayahnya, Raden Machmud seorang pembesar di Kerajaan Sintang yang menjabat sebagai Mangkubumi dengan gelar Mangku Negara II.
Raden Machmud adalah saudara dari Raja Sintang yakni Sultan Adi Abdul Rasyid Muhammad Jalaluddin. Mereka berdua adalah anak dari Sultan Abdurrahman Muhammad Jalaluddin, Raja Sintang sebelum Sultan Adi Abdul Rasyid yang meninggal dunia dan digantikan putra sulungnya, Pangeran Ratu Ahmad Qamaruddin.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Pangeran Ratu Ahmad Qamaruddin didampingi oleh Mangkubumi Pangeran Ratu Idris Kesuma Negara yang merupakan saudara dari Pangeran Kuning. 
Pangeran Kuning merupakan anak pertama dari enam bersaudara antara lain Pangeran Ratu Idris, Pangeran Rija (Aria), Pangeran Anom, Adi Tjoeit dan Adi Boesoe. Sejak kecil, ia menimba ilmu silat dan agama dari Rajo Dangki, seorang mubalig asal Sumatra Barat yang menyebarkan agama Islam di wilayah Kerajaan Sintang.
Didikan dan tempaan Rajo Dangki membuat Pangeran Kuning dikenal sebagai sosok yang berani, ulet, jujur dan mempunyai kepribadian. Pangeran Kuning menikah dan dikaruniai 3 orang anak. Salah seorang anaknya bernama Abang Arip yang mempunyai gelar Pangeran Muda.
Pangeran Muda sebagai anak dari Pangeran Kuning pernah ditugaskan oleh Sultan Ahmad Qamaruddin untuk memimpin daerah Ketungau sebagai penjaga keamanan dan pemungut pajak penduduk guna kepentingan kerajaan Sintang.
Pangeran Kuning tidak menyetujui kebijakan Sultan Ahmad Qamaruddin yang mau bekerja sama dengan Belanda. Pangeran Kuning pun memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pejabat di Kerajaan Sintang.
Walaupun telah mengundurkan diri, namun ia tetap peduli dengan nasib kerajaan dan rakyatnya. Ia bersama-sama saudaranya, yaitu Pangeran Aria dan Pangeran Anom menyusun kekuatan untuk menghadapi Belanda di wilayah Kerajaan Sintang. Tindakan Pangeran Kuning dan saudaranya tersebut membuat hubungan antara Pangeran Kuning dan Sultan Ahmad Qamaruddin menjadi tidak harmonis dan menimbulkan rasa saling curiga di antara mereka.
Di satu sisi, Pangeran Kuning menentang kehadiran Belanda, sedangkan di sisi lain Sultan Ahmad Qamaruddin menerima kehadiran Belanda di wilayah kerajaan Sintang.
Kedatangan Belanda di kerajaan Sintang terjadi pada masa pemerintahan Raja Sintang ke-22 yaitu masa pemerintahan Sultan Ahmad Qamaruddin. Kedatangan Belanda tersebut mendapat perhatian dari beberapa pejabat dan penguasa kerajaan Sintang termasuk dari Sultan Ahmad Qamaruddin.
Kehadiran Belanda secara resmi di wilayah ini setelah Kerajaan Sintang dan Belanda mengadakan perjanjian/kontrak. Dalam perjanjian yang dibuat, pada mulanya Belanda mau mematuhi segala isi peraturan yang telah disepakati. Tetapi, lama-kelamaan Belanda dengan menggunakan akal liciknya mengelabui penguasa dan rakyat kerajaan Sintang. Sampai akhirnya, Belanda mampu menggeser kedudukan Raja Sintang yang semula sebagai penguasa berubah kekuasaannya menjadi di bawah kekuasaan Belanda.
Sebagai contoh, pada 1822 Masehi, Belanda melakukan tipu muslihat dengan meminta izin kepada Sultan Ahmad Qamaruddin untuk memberikan perluasan tanah bagi Belanda di Kampung Tanjung Sari. Tetapi kenyataannya tanah yang diminta Belanda tersebut sangat luas dan akan dipergunakan untuk mendirikan loji atau benteng pertahanan Belanda. Sikap dan perbuatan Belanda tersebut membuat beberapa Pangeran di Kerajaan Sintang menjadi marah, di antaranya adalah Pangeran Kuning, Pangeran Anom dan Pangeran Muda.
Pangeran Kuning beserta Pangeran lainnya kemudian mendatangi Sultan Ahmad Qamaruddin untuk menyampaikan pendapat agar Sultan Ahmad Qamaruddin menolak memberikan izin kepada Belanda memperluas tanah guna mendirikan benteng pertahanan. Akibat perbedaan pendapat soal ini, maka timbullah perpecahan dan perselisihan di antara keluarga kerajaan Sintang.  
Pangeran Kuning merupakan sosok tokoh yang patut diteladani. Dalam pemikiran dan tindakannya selalu menentang segala sesuatu yang sifatnya sepihak dan hanya menguntungkan diri sendiri. Ia juga menentang tindakan yang tak memerhatikan rasa keadilan pihak lain.
Hal itu ditunjukkannya saat menentang perjanjian kerja sama antara Raja Sintang dan Belanda. Ia menganggap isi perjanjian banyak merugikan Kerajaan Sintang. Pada gilirannya akan membuat rakyat sengsara. Karena sikapnya itu, ia rela menerima tuduhan sebagai pemberontak yang menghalangi setiap kebijakan yang dikeluarkan penguasa kerajaan dan Belanda.
Pangeran Kuning kemudian berjuang bersama-sama pengikutnya di hutan dan sepanjang sungai di daerah Kayan. Perlawanannya ditunjukkan dengan peristiwa perang Tebidah pada 1856 sampai 1860 Masehi.
Pada 1857, Pangeran Kuning wafat karena sakit dalam usia 98 tahun. Sebagai tanda penghormatan kepada beliau, Pangeran Kuning dimakamkan di tempat terakhirnya ia berada, yaitu di lokasi markas pertahanan Pangeran Kuning dan pengikutnya di daerah Sedaga, Kayan Hulu.
Setelah Pangeran Kuning wafat, perlawanan rakyat kerajaan Sintang terhadap Belanda dilakukan di bawah pimpinan Pangeran Muda dan Pangeran Anom. Namun pada 1860 Masehi, Pangeran Muda meninggal dunia dan perjuangan melawan Belanda tetap diteruskan di bawah pimpinan Pangeran lainnya.

Jumat, 12 Agustus 2011

Kedatangan Kolonial Belanda di Kerajaan Sintang

Kerajaan Sintang yang sedang harum dengan perkembangan Islam, ketika itu pada bulan Juli 1822 rombongan Belanda yang pertama kali tiba di Negeri Sintang di bawah Pimpinan Komisaris Tinggi Mr.H,J. Tobias. Tapi ketika rombongan itu tiba, Baginda Pangeran Ratu Achmad Qamaruddin tidak bersedia ditemui oleh rombongan mereka.
Rombongan Mr.H,J. Tobias, hanya dilayani oleh Mangku Bumi dan sejumlah pembesar – pembesar Kerajaan, namun pertemuan itu tidak menghasilkan suatu apapun.
12Karena tidak berhasil mengikat kontrak dengan Raja Sintang, rombongan Belanda yang dipimpin oleh Mr.H,J. Tobias, terus kembali ke Pontianak.
Setelah itu Baginda Pangeran Ratu Achmad Qamaruddin mendapat sakit, semakin hari semakin memburuk, tidak lama kemudia Baginda berpulang Kerahmatullah setelah selama 40 tahun memangku jabatan sebagai Raja di Kerajaan Sintang.
13Setelah tersiar wafatnya Baginda Pangeran Ratu Achmad Qamaruddin, tidak berapa lama pada akhir bulan Nopember tahun 1822 M, rombongan Belanda yang kedua datang lagi ke Negeri Sintang di bawah pimpinan Pegawai Tinggi D.J. Van Dungen Gronovius dan C.F. Goldman dengan di temani oleh Pangeran Bendahara dari Kerajaan Pontianak sebagai juru bahasa. Ia menceritakan kemajuan – kemajuan yang telah dicapai kerajaan – kerajaan di Pulau Borneo setelah mengadakan Kontrak Persahabatan dengan Gubernemen Belanda. Dengan sopan santun serta tutur kata yang lemah lembut sehingga menyebabkan pembesar-pembesar di Kerajaan Sintang akhirnya menerima kontrak persahabatan itu.Pada tanggal 2 Desember 1822 M, terjadilah suatu ikatan perjanjian persahabatan antara Gubernemen Belanda dengan Pihak Kerajaan Sintang, yang disebut dengan kontrak sementara ( Voorlopige contract ). Dari pihak Belanda ditanda tangani oleh D.J. Van Dungen Gronovius dan C.F. Goldman, sedangkan dari pihak Kerajaan Sintang oleh Pangeran Ratu Idris Kesuma Negara dan Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin, dan di saksikan oleh Pangeran Bendahara dari Kerajaan Pontianak dan Pangeran – Pangeran dari Kerajaan Sintang.
Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin, sebagai penerus Pemerintahan di Kerajaan Sintang yang ke – XXIII, pada prinsipnya tidak menyetujui adanya kontrak persahabatan dengan Belanda, akan tetapi Baginda Raja tidak dapat bertindak sendiri karena sudah merupakan keputusan Menteri-menteri di Kerajaan Sintang. Sekalipun kontrak persahabatan sudah disetujui, namun Baginda Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin tetap meneruskan pengembangan agama Islam di wilayah Kerajaan Sintang, dengan dibantu oleh Penghulu Arsyad dan Sino Pati Shamad,
14Pada mulanya pihak Belanda hanya menjalin persahabatan dengan Kerajaan Sintang, kian hari sedikit demi sedikit sudah memperlihatkan aksinya untuk menguasai dan mencampuri urusan Pemerintahan dan mengawasi perkembangan agama Islam di wilayah Kerajaan Sintang. Sehingga pada akhirnya apabila akan mengadakan tabligh harus mendapat izin dari pihak Belanda, demi untuk ketertiban didalam negeri Sintang. Melihat Gerak – gerik dari pihak Belanda yang semakin mencurigakan, maka timbulah ketegangan di kalangan Istana. Empat orang menteri Kerajaan yaitu Pangeran Kuning, Pangeran Anum, Pangeran Arya dan Pangeran Muda, yang pada awalnya sudah tidak menyetujui kontrak persahabatan dengan pihak Belanda, sehingga keempat Pangeran tersebut bangkit memberontak dan terjadilah pertempuran demi pertempuran sejak tahun 1825 M, hingga tahun 1861 M, sa’at keempat Pangeran tersebut sudah meninggal dunia.
Dalam suasana tegang dan keamanan terancam, da’wah Islamiyah sedikit mengalami kemunduran, tetapi walaupun demikian, semangat para mubaligh tetap tidak pernah padam, mereka berusaha dan giat mengembangkan ajaran Islam ke daerah pedalaman.
Ketegangan antara pihak Belanda dengan pihak pejuang-pejuang didaerah kian hari tambah memuncak dan berlarut-larut hingga memasuki awal tahun 1855 M, Pihak Belanda tidak dapat memadamkan api pemberontakan itu dikarenakan dari dalam Istana baik Baginda Raja maupun Mangku Bumi secara terselubung merestui perjuangan mereka dengan menyediakan fasilitas – fasilitas yang diperlukan. Pihak Belanda merasa kewalahan, dan pada akhirnya siasat baru ditempuh yaitu dengan membuat kontrak panjang yang disebut “ De Lange Politieke Contract “ yang berisikan 23 pasal, Kontak Panjang ini menyimpulkan system menjajah serta sekaligus mengambil alih dan monopoli semua sumber pemasukan Kerajaan.
15Pada awal bulan Maret 1855 M, oleh Komisaris Prins, disampaikan konsep kontrak panjang ini kepada Raja dan Mangku Bumi dengan maksud minta disetujui serta ditanda tangani. Raja dan Mangku Bumi mempelajari pasal demi pasal isi dari pada kontrak panjang itu, kemudian keduanya mengambil suatu kesimpulan yaitu daripada menyetujui kontrak panjang yang sudah terang – terangan menindas Raja dan Rakyat Kerajaan Sintang, lebih baik mengundurkan diri dari jabatan karena hal ini menyangkut rakyat banyak.
Pada sa’at itu juga keduanya di hadapan Komisaris Prins menyatakan bahwa keduanya akan menyerahkan jabatan sebagai Raja dan Mangku Bumi serta menunjuk Putra Mahkotanya bernama Ade Tuwan untuk pengganti Raja. Pernyataan Raja dan Mangku Bumi ini diterima dengan gembira oleh Komisaris Prins dan merestui atas penunjukan Putra Mahkotanya menjadi Raja di Kerajaan Sintang sehingga dengan demikian akan sukseslah kontrak panjang di Kerajaan Sintang.
Pada tanggal 5 Maret 1855 M, pelantikan Raja yang baru dilaksanakan dan sekaligus meresmikan berlakunya kontrak panjang atas tanah Kerajaan Sintang. Raja Sintang yang ke XXIV yaitu Ade Tuwan bergelar Panembahan Abdurrasyid Kesuma Negara I, dalam susunan Pemerintahan status Mangku Bumi dihapuskan dan pihak Gubernemen Belanda mengangkat beberapa orang Pangeran sebagai pendamping Raja.

Datangnya Dua Orang Mubaligh Islam di Kerajaan Sintang

Pada masa Pemerintahan Baginda Sultan Abdurrahman Muhammad Djalaluddin, datanglah dua orang mubaligh Islam dari Pulau Sumatera, Kedatangan keduanya disambut Baginda Sultan dengan baik, dengan kedatangan dua orang mubaligh tersebut maka membuat perkembangan Islam semakin pesat di wilayah kerajaan Sintang. Mereka adalah Penghulu Abbas dari Aceh dan Rajo Dangki dari Pagaruyung Minangkabau. Melihat kepiawaian kedua mubaligh tersebut Baginda Sultan memberikan kedudukan kepada keduanya setingkay menteri.
Rajo Dangki disamping sebagai seorang mubaligh juga seorang pandai silat, ia memberikan pelajaran silat di mana-mana dan bukan hanya dikalangan generasi muda bahkan sampai yang sudah tuapun ingin belajar silat sehingga Ia sangat disukai. Berkat bimbingannya banyak penduduk negeri Sintang menjadi pandai silat dan tidak merasa takut lagi untuk
9mengahadapi peperangan.
Kehadiran kedua mubaligh itu sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan Negeri Sintang, dan keduanya akhirnya menetap di Negeri Sintang dan tidak pulang lagi ke kampung halamannya. Baginda Sultan Abdurrahman mempunyai dua orang putra, yang sulung bernama Raden Mahmud, dan adiknya bernama Adi Abdurrasyid, yang pada waktu itu masing – masing berusia 10 tahun dan 7 tahun, setelah keduanya memasuki usia 13 tahun dan 10 tahun. Oleh Baginda Sultan kedua putranya itu diserahkan kepada Penghulu Abbas untuk di didik agama Islam dan bertempat tinggal di rumah Penghulu Abbas dan oleh Penghulu Abbas kedua putra Baginda Sultan itu diasuh dan di didik seperti anaknya sendiri, setelah dewasa barulah dikembalikan kepada orang tuanya. Pada waktu itu di Kerajaan Sintang benar-benar aman, baik di Ibukota Kerajaan maupun diluar dan demikian juga dengan perkembangan agama Islam yang semakin meningkat, perubahan – perubahan di Negeri Sintang sangat dirasakan oleh masyarakat, tetapi suasana dukapun tidak dapat dihindari, tepatnya pada tanggal 21 Bulan Sya’ban 1200, Baginda Sultan berpulang Kerahmatullah.
10Setelah wafatnya Baginda Sultan Abdurrahman Muhammad Djalaluddin, Pemerintahan di Kerajaan Sintang diteruskan oleh Putra Baginda yang kedua sebagai Raja ke – XXI, yaitu Adi Abdurrasyid yang bergelar Sultan Abdurrasyid Muhammad Djamaluddin. Sedangkan Putra Baginda yang sulung yaitu Raden Mahmud sebagai Mangku Bumi yang bergelar Mangku Negara II.
Mendapat bantuan penuh dari Penghulu Abbas, Rajo Dangki serta Penghulu Antat bin Madil, Baginda Sultan Abdurrasyid meneruskan pengembangan Islam dan merambah ke daerah-daerah. Melihat perkembangan Islam semakin luas, Baginda Sultan membongkar Masjid peninggalan Baginda Sultan Nata dan membangun Masjid yang lebih besar yang dapat menampung sekitar 200 orang jama’ah, tetapi tiang Masjid yang di bangun baru ini masih menggunakan tiang Masjid yang lama hanya bahan-bahan lainnya yang benar – benar baru, serta tempat pembangunannya tetap ditempat asal masjid yang lama. Baginda Sultan Abdurrasyid adalah seorang Raja yang ‘alim, Baginda tekun menjalankan ibadah di dalam Masjid dan urusan Pemerintahan diserahkan sepenuhnya kepada kakaknya Raden Mahmud.
11Perkembangan Islam telah menonjol dan semua itu tidak terlepas dari pemimpin – pemimpin Negeri yang ta’at dan memegang teguh syari’at ajaran Islam, sehingga mengharumkan nama Kerajaan Sintang sampai kemana – mana. Baginda Sultan Abdurrasyid menikah dengan putrid Raja Sanggau yang bernama Utin Ibut dan di Karuniai tiga orang putra. Baginda Sultan Abdurrasyid memerintah hanya 10 tahun dan Baginda Sultan wafat pada tahun 1211 H. Pemerintahan di Kerajaan Sintang diteruskan oleh putra Baginda Sultan yang sulung, sebagai Raja Sintang ke – XXII, yaitu Ade Muhammad Noeh, bergelar Pangeran Ratu Achmad Qamaruddin.
Dalam menjalankan Pemerintahan di Kerajaan Sintang Baginda Pangeran Ratu didampingi oleh Mangku Bumi, Yaitu Pangeran Ratu Muhammad Idris Kesuma Negara ibnu Raden Mahmud, Wazir I, Pangeran Koening Soerya Pati ibnu Raden Mahmud, Wazir II, Pangeran Anom Soerya Negara ibnu Raden Mahmud, Wazir III, Pangeran Ria ibnu Raden Mahmud, Wazir IV, dan Pangeran Aria Negara ibnu Pangeran Adi Negara, Wazir V. serta Penghulu Abbas dan Penghulu Antat bin Madil. Pada masa Pemerintahan Pangeran Ratu Achmad Qamaruddin, telah didirikan beberapa buah Balai tempat pusat pengajian dan di beberapa wilayah juga ada Balai Pertemuan di tiap – tiap Ibukota.

Kerajaan Islam di Sintang (1651 M - 1855 M)



Raja di Kerajaan Sintang ke – XIX bernama Sultan Nata Muhammad Syamsuddin, dan merupakan raja pertama yang memakai gelar Sultan. Baginda menyempurnakan tata pemerintahan di kerajaan Sintang dan meneruskan pelaksanaan rencana pembangunan Masjid di Ibukota Kerajaan yang didirikan pada tanggal 12 Muharram 1083 H. Bersama orangtuanya Kyai Adipati Mangku Negara Melik, Baginda Sultan Nata menyediakan bahan bahan yang diperlukan dan langsung turun tangan dalam pembangunan Masjid bersama rakyat secara bergotong royong sehingga rumah ibadah tersebut selesai dalam waktu yang singkat. Dari situlah Baginda Sultan Nata memulai kegiatan untuk mengembangkan syiar Islam.
Walaupun masjid yang dibangun Baginda Sultan Nata Jauh berbeda dari masjid yang ada pada saat ini, tetapi itulah masjid pertama di Kerajaan Sintang yang begitu sangat sederhana dan hanya mampu menampung sekitar 50 orang jama’ah, tetapi itu bukan berarti membatasi jama’ah yang ingin sholat, tetapi itu adalah suatu hal yang sangat istimewa. Setiap waktu sholat, Baginda Sultan Nata ikut berjama’ah bersama rakyat. Dan sampai – sampai Baginda Sultan Nata mengeluarkan ancaman hukuman untuk setiap pemeluk Islam yang tidak mau ikut ke masjid. Sebagai pemimpin yang bijaksana dan penyebar agama Islam, Baginda Sultan Nata sering melakukan peninjauan ke seluruh wilayah kerajaan, yang didampingi oleh penghuku Luwan.
Dengan semakin bertambahnya pemeluk agama Islam di wilayah kerajaan Sintang, Bagindapun mengumumkan berlakunya hukum Islam di seluruh wilayah kerajaan Sintang. Pada masa pemerintahan Baginda Sultan Nata, perkembangan Islam begitu pesat, aturan per-undang-undangan di kerajaan berdasarkan syaria’t Islam, dan oleh masyarakat beliau diberi gelar “ Sultan Nata Muhammad Syamsuddin Sa’idul Khairri Waddin “ yang artinya pemimpin yang bijaksana dan penyebar agama. Tetapi pada saat itu lambang kerajaan masih memakai lambang yang lama berupa gambar tengkorak.
6Untuk biaya pemerintahan di kerajaan, Baginda Sultan Nata mewajibkan kepada setiap kepala keluarga menyerahkan sumbangan tertentu setelah selesai panen.
Dan semuanya dipatuhi oleh rakyat dengan tidak ada merasa terbebani karena jumlah yang Baginda tetapkan sangat kecil. Meskipun demikian, oleh karena Baginda Sultan Nata dalam kehidupan sehari - hari sangat sederhana, sebagian dari hasil – hasil yang diterima kerajaan kemudian baginda bagi – bagikan lagi kepada golongan miskin, sehingga suasana di kerajaan menjadi aman dan rakyat hidup berkecukupan.
Hasrat Baginda Sultan Nata untuk memupuk perkembangan Islam di wilayah kerajaan Sintang terus meningkat, Baginda Sultan Nata masih menghajatkan Kitab Suci Al – Qur’an untuk diajarkan kepada rakyat nya, sedangkan pada saat itu di kerajaan Sintang baru ada beberapa Surah dari Juz’amma yang sudah ada di pelajari.
Baginda Sultan Nata memerintahkan Penghulu Luwan untuk berkunjung ke Banjarmasin melalui jalan darat untuk mengusahakan salinan Kitab Al-Qur’an.Menjunjung tinggi titah Baginda Sultan Nata, Penghulu Luwan dengan ditemani oleh beberapa orang pejabat kerajaan berangkat ke Banjarmasin dan dalam kurun waktu selama tiga bulan disana merekapun pulang ke negeri Sintang dengan membawa sebuah Kitab Al-Qur’an yang sudah disalin diatas kertas.
7Baginda Sultan Nata sangat bergembira setelah menerima kiriman sebuah Kitab Al-Qur’an dari Sultan Banjarmasin, Baginda Sultan Nata bersama tokoh-tokoh Islam setempat belajar membaca Al-Qur’an di bawah bimbingan Penghulu Luwan.
Hari – hari telah dilewati, pemeluk agama Islam semakin meningkat dan dalam tempo yang singkat ajaran Al-Qur’an sudah merata bagi rakyat di Ibukota Kerajaan. Pada tahun 1150 H, Baginda Sultan Nata mendapat sakit dan tidak lama kemudian tersiar kabar bahwa Baginda Sultan Nata telah berpulang kerahmatullah. Sebagai pengganti Raja di kerajaan Sintang ke - XX, maka diangkatlah putra Mahkota bernama “ Adi Abdurrahman “ bergelar Sultan Abdurrahman Muhammad Djalaluddin.
Disamping meneruskan pengembangan ajaran Islam di wilayah kerajaan, Baginda Sultan bersama dengan Penghulu Kerajaan bernama Madil bin Luwan, bergerak terus menyiarkan ajaran Islam sampai ke daerah – daerah bahkan sampai ke kerajaan tetangga di Kapuas Hulu seperti Suhaid, Silat, Selimbau dan Jongkong, yang pada saat itu masih menganut faham animisme.
8Pertama kali kedatangan Baginda Sultan kesana tidak mendapat perhatian dari Raja – raja tersebut, bahkan mereka menantang keras ajakan Baginda Sultan sehingga terjadilah peperangan. Setelah dapat dikalahkan, maka diadakanlah Surat Perjanjian Takluk dan barulah Raja – raja tersebut beserta rakyatnya memeluk agama Islam. Surat Perjanjian antara Raja Kerajaan Silat dengan Raja di Kerajaan Sintang ditulis diatas sekeping tembaga serta dibubuhi cap jempol kedua raja tersebut, dengan demikian maka wilayah kekuasaan Kerajaan Sintang semakin meluas setelah ada surat perjanjian takluk dari Raja – raja Kapuas Hulu.
Setelah ajaran Islam seluruhnya dapat diterapkan, maka Baginda Sultan memerintahkan kepada Menteri Besar Sinopati Turas, supaya sebuah sungai yang terletak tidak jauh dari kawasan Masjid dijadikan tempat menjatuhkan hukuman yang yang bersalah, baik hukum pancung, hukum potong tangan maupun hukum rejam. Sungai tersebut diberi nama Sungai Pembunuh.

Masuknya Agama Islam di Kerajaan Sintang

Pada pertengahan abad ke – XVII, Kerajaan Sintang di perintah oleh seorang raja yang bernama Abang Pencin bergelar “ Pangeran Agung ”, Baginda Pangeran Agung adalah turunan ke – 17 dari Raja di Kerajaan Sintang yang pertama. Pusat Pemerintahan Kerajaan pada waktu itu terletak di wilayah yang disebut Pulau Perigi, yaitu ditengah kota Sintang dan pada saat sekarang perbatasan antara Kelurahan Kapuas Kiri Hilir dan Kelurahan Kapuas Kiri Hulu.
Baginda Pangeran Agung beserta sebagian besar rakyatnya menganut agama Hindu, serta sebagian lainnya masih menganut faham animisme. Pada masa itu agama hindu telah berkembang dan tersebar dengan pesatnya di Kerajaan Sintang bagaikan cendawan di musim hujan, agama hindu berkembang sejak abad ke – XV yang dibawa dan di kembangkan oleh seorang Patih dari Kerajaan Majapahit bernama Patih Logender.
Belum begitu lama Baginda Pangeran Agung memangku jabatan sebagai Raja di Kerajaan Sintang, datanglah dua orang perantau dari luar kerajaan Sintang yang kemudian diketahui ternyata para mubaligh Islam. Mereka adalah Mohammad Saman dari Banjarmasin dan Enci’ Shomad dari Serawak.
1Begitu sampai ditanah Sintang kedua mubaligh langsung menghadap Baginda Raja Pangeran Agung, mereka berdua menyatakan keinginannya menetap di Kerajaan Sintang jika mendapat izin dari Baginda Raja, Sebagai mubaligh, tutur bahasa yang lemah lembut serta sopan santun dengan penuh rasa rendah hati menyebabkan Baginda Raja Pangeran Agung tertarik, dan atas izin Baginda Raja kedua mubaligh itu bertempat tinggal di rumah seorang Menteri. Dirumah Menteri itu kedua mubaligh tetap melaksanakan ibadah sholat sebagaimana mestinya. Tidak berapa lama sang menteripun tertarik ingin mengetahui apa yang dilakukan oleh kedua mubaligh tersebut dan pada suatu hari menteri memberanikan diri untuk menanyakan hal ihwal apa yang dikerjakan oleh kedua mubaligh tersebut. Kedua mubaligh itu saling silih berganti menerangkan kepada menteri pokok-pokok ajaran Islam, dan kemudian menteri bersama keluarganya menyatakan dirinya untuk memeluk agama Islam. Karena takut diketahui oleh Baginda Raja, semula menteri dan keluarganya mempelajari agama Islam secara diam-diam, hari demi hari telah dilewati, tapi raja yang selalu memperhatikan dan mengawasi gerak – gerik rakyatnya, akhirnya tahu juga.
2Suatu ketika menteri dan bersama kedua mubaligh itu dipanggil menghadap, dihadapan Baginda Pangeran Agung kedua mubaligh menerangkan tentang pokok-pokok ajaran Islam, mereka menjelaskan bahwa agama Islam itu bukanlah agama baru bahkan telah dianut oleh jutaan manusia di permukaan bumi. Disatu sisi agama Islam mengajak seluruh manusia agar hanya mengabdi kepada Allah SWT, dan di sisi Islam mengajarkan agar bergaul baik dengan sesama.
Kemudian Baginda Pangeran Agung bertanya kepada kedua mubaligh tersebut, apakah anda juga berhasrat mengajak kami kepada Islam ? dengan tegas Mohammad Saman menjawab “ tentu saja, Tuanku “ Bagaimana sikap kalian andaikata kami tidak bersedia ? Tanya Baginda Raja lagi. Kami tetap menghormati Tuanku dan berterima kasih atas kemurahan hati Tuanku menyambut kami sambung Enci’ Shomad.
Baginda Pangeran Agung tersenyum dan langsung menyatakan bahwa dirinya memeluk agam Islam dan Baginda Pangeran Agung langsung mengucap Dua Kalimah Syahadat. Kemudian Baginda Pangeran Agung menambahkan bahwa beliau telah lama mendengar tentang agama Islam tetapi beliau belum sempat mempelajari secara mendalam. Konon baginda ingin menikah dengan putrid raja Sanggau yang sudah memeluk agama Islam, tetapi lamaran Baginda belum mendapat jawaban yang tegas. Dan setelah baginda Pangeran Agung memeluk agama Islam utusan raja Sanggau datang membawa tanda mata.
3Tidak lama kemudian baginda Pangeran Agung menikah dengan putri dari kerajaan Sanggau yang bernama Dayang Mengkiang. Dengan didorong hasrat untuk memajukan agama baru, Mohammad Saman dan Ecci’ Shomad baginda angkat sebagai warga negeri kerajaan Sintang dan kemudian balai kerajaan dijadikan pusat penyiaran agama Islam. Kedua mubaligh baginda kawinkan dengan keluarga kerajaan sehingga merekapun makin dihormati oleh rakyat.
Setelah tersiar kabar Baginda Pangeran Agung memeluk agama Islam, maka rakyat di kerajaan Sintang yang sebelumnya menganut agama Hindu dan Animisme berduyun – duyun memeluk agama Islam sehingga pemeluk agama Islam mulai berkembang. Setelah cukup lama memangku Jabatan sebagai Raja di Kerajaan Sintang, Baginda Pangeran Agung berpulang kerahmatullah, kedudukan sebagai Raja di Kerajaan Sintang diganti oleh Putra Mahkota yang bernama Pangeran Tunggal dan Beliau dinobatkan
sebagai Raja di Kerajaan Sintang yang ke XVIII. Kegiatan Baginda Pangeran Tunggal tidak kurang dari ayahndanya sehingga agama Islam semakin berkembang sampai ke pedalaman. Baginda menjalankan Pemerintahan cukup lama dan baginda Pangeran Tunggal yang merencanakan pembangunan Masjid yang pertama dalam kerajaan Sintang. Tetapi mujur tak dapat diraih dan malang tak dapat di tolak, sebelum rencana terlaksana Baginda Pangeran Tunggal berpulang kerahmatullah.
4Karena Putra almarhum Abang Itot tidak memenuhi syarat sebagai Raja di Kerajaan Sintang, sedangkan Putra mahkota almarhum yaitu Pangeran Purba tidak berada di negeri Sintang, karena sudah berkali – kali diberitahu tentang keadaan ayahnda semasa masih hidup bahkan sampai Baginda Pangeran Tunggal wafat pun Pangeran purba tidak datang dan pada akhirnya untuk di angkat sebagai Raja di Kerajaan Sintang, diangkatlah keponakan almarhum Baginda Pangeran Tunggal sebagai Raja di Kerajaan Sintang ke XIX, yaitu putra dari Nyai Cili ( adik Pangeran Tunggal ) dan Mangku Negara Melik yang bernama Abang Nata, ketika itu Abang Nata masih berusia 10 tahun. Sementara menunggu dewasa Pemerintahan ditangani oleh seorang Wazir bernama Senopati Laket, Ia menjalankan pemerintahan sampai Raja berusia 20 tahun. Setelah Abang Nata berusia 20 tahun, maka beliaupun dinobatkan sebagai Raja di Kerajaan Sintang, bergelar ‘ Sultan Nata Muhammad Syamsuddin ‘.

Putri Dara Juanti

Putri Dara Juanti yang terkenal dalam sejarah kerajaan sintang yang membawa perhubungan dengan tanah jawa. Dalam sejarahnya Dara Juanti berlayar ke tanah Jawa untuk membebaskan saudaranya Demong Nutup (di jawa dikenal dengan nama Adipati Sumintang) yang ditawan oleh salah satu kerajaan di Jawa. Singkat cerita, di pelabuhan tuban Dara Juanti di hadang oleh prajurit kerajaan dan merupakan pertemuan pertama dengan seorang Patih dari Majapahit yaitu Patih Logender. Dari pertemuan itulah yang membuat hubungan keduanya semakin dekat, dan kemudian Patih Logender pergi ke Kerajaan Sintang untuk melamar Dara Juanti. Namun malang tak bisa di tolak Patih Logender harus pulang ke Jawa karena harus memenuhi persyaratan - persyaratan yang di minta oleh Dara Juanti. Diantara persyaratan itu antara lain : Keris elok tujuh berkepala naga, empat puluh kepala, empat puluh dayang-dayang, dan lainnya.Dengan memenuhi persyaratan yang diminta dan semuanya terpenuhi barulah pinangan itu diterima bersama barang pinangan lainnya yang diserahkan oleh Patih Logender kepada Demong Nutup untuk meminang Puteri Dara Juanti. Selain persyaratan diatas, Patih logender menyerahkan barang-barang pinangan lainnya seperti seperangkat alat musik, patung burung garuda terbuat dari emas, sebongkah tanah majapahit, dan lainnya. Melihat barang pinangan sudah dipenuhi oleh Patih Logender sebagai persyaratan untuk meminang Puteri Dara Juanti, tidak lama kemudian pernikahan-pun dilangsungkan. Dalam catatan sejarah, pernikahan Putri Dara Juanti dengan Patih Logender diperkirakan tahun 1401 M, karena pada saat pernikahan usia Puteri Dara Juanti diperkirakan 27 tahun sedangkan Patih Logender diperkirakan diatas 50 tahun karena di Jawa Patih Logender sudah memiliki isteri dan mempunyai tiga orang anak. Dari Pernikahan itu keduanya dikarunia tiga orang anak, yang pertama dan kedua perempuan yaitu Dewi Kesuma dan Dewi Udara serta yang ketiga laki-laki bernama Abang Semat (Jubair Irawan II).

TANAH TANJUNG (Perjuangan Pangeran Kuning Melawan Kolonialisme)

Peristiwa Tanah Tanjung merupakan sebuah tempat yang sangat berharga pada pusat pemerintahan di kerajaan Sintang. Akibat dari masuknya pemerintah Belanda yang menjadikan Tanah Tanjung sebagai tempat mendirikan benteng pertahanan, dari itu mulainya sejarah perjuangan Pangeran Kuning yang selalu membela kebenaran dan keadilan. Pangeran Kuning adalah seorang yang bijaksana serta tepat menjadi pemimpin dan tidak benar jika memandang pangeran ini sebagai seorang pemberontak. Keteguhan dan keberanian rupanya sangat membantu perjuangannya melawan kolonialisme dan akhirnya membuahkan hasil. Prinsip yang dipegang teguh oleh Pangeran Kuning adalah seorang yang budi pekertinya jujur, menepati janji dan seorang pangeran yang meduduki posisi sebagai wazir II di kerajaan Sintang pada masa pemerintahan Pangeran Adipati Surya Negara Muhammad Djamaluddin sebagai raja. Ketokohan Pangeran Kuning bukan saja memiliki pengetahuan mendalam tentang seluk-beluk hukum agama tetapi sangat terampil pula dalam hukum Adat.
Seperti yang sudah dikatakan diatas, bahwa Pangeran Kuning adalah seorang pahlawan besar, yang sejak didalam pemerintahan kerajaan Sintang sebagai orang yang tidak menerima kehadiran kolonial Belanda di Sintang sudah diakui, baik oleh rakyat Sintang sendiri, maupun oleh musuh-musuh (kolonial Belanda). Kenyataan ini dapat dibuktikan pada perlawanan-perlawanan beliau. Sejak Pangeran Kuning meninggalkan istana untuk melawan kolonial Belanda. Dengan demikian, tentulah beliau tidak akan bisa melupakan tentang kejadian-kejadian yang menyebabkan politik pemerintah di kerajaan Sintang diambil alih pemerintah kolonial Belanda.
Perang perlawanan terhadap kolonial yang dilakukan oleh laskar perlawanan di wilayah Sintang dibawah pimpinan Pangeran Kuning berlangsung ± 35 tahun (1822-1857). Bukti-bukti peninggalan sejarah sebagian besar telah musnah, para pelaku sejarah sudah kembali kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang tersisa hanyalah catatan (manuscrips) dan tempat bersejarah sebagai saksi bisu yang mampu mengungkapkan peristiwa perlawanan ke permukaan yang patriotik dan heroik pada zamannya. Tentang perlawanan dimaksudkan itu, pihak kolonial Belanda sendiri telah mengakuinya sebagaimana termuat di dalam laporannya: pertama, Historische Aanteekeningen, Jaar 1889”, kedua,Chronologish-Ta Bellarisch Overz Icht Gesciedenis Garniz Oens-Bataljon De Westera Deeling Van Borneo. (Opgericht Ingevolge Gouvts. Besluit ddo. 8 Mei 1856) No. 10 (Kon. Nesluit dd. 2 Augustus 1853 Letter E.14). Mutaties, Veldtochten. Uitstekende Daden, Byzondere Verrichtingen En Ontvangen Beloeningan”.

Dengan adanya pengakuan dari pemerintah kolonial Belanda tersebut, berarti ada bukti tertulis yang tak terbantahkan tentang kebenaran, keberadaan dan keabsahan perang melawan kolonialisme Belanda di wilayah Sintang. Disamping itu memang tidak ada pemberontakan lain sebagai aksi perlawanan yang dimaksud yang terjadi pada kurun waktu dari tahun 1822 (saat pemerintah kolonial Belanda tiba di Sintang), dan pada tahun 1825 meletuslah gerakan perlawanan pertama kalinya yang dipimpin oleh Pangeran Kuning di Sintang yang pada akhirnya sampai beliau wafat ditahun 1857 perang terus berkecamuk, sehingga keputusan Gubernur Jendral Belanda dengan mengeluarkan pernyataan bahwa bagian Sintang pada tanggal 20 Desember 1856 berada dalam keadaan Perang (Darurat). Setelah beliau wafat aksi perlawanan tetap semarak, berkobar, dan berlanjut.